Keringat jatuh satu ke layar ponsel ketika saya membuka pesan singkat mas Dessy pagi itu. “Mas, ke Bahari Inn ya, bareng saya.” Demikian pesan itu tertulis. Saya terkejut, dan baru ingat bahwa hari itu, jam10 pagi, ada undangan Focus Group Discussion (FGD) pembuatan master plan situs Semedo di hotel Bahari Inn. Saya lihat jam sudah menunjukkan angka 9 lebih, dan saya sama sekali belum siap, karena baru saja selesai bermain tenis dan masih berada di lapangan. Keringat pun masih mengucur deras tanpa ragu. Badan dan kaos yang saya kenakan jadi kuyub oleh molekul-molekul pintar itu. “Ya mas, saya ke rumah dulu ganti baju.” Saya membalas pesan mas Dessy sambil berkemas pulang dengan tergesa-gesa. Teman-teman tenis sia-sia saja mencoba menahan saya.
Sampai di rumah, saya mandi dan memakai batik Jogja coklat dengan celana panjang hitam. Notebook warna pink saya masukkan ke dalam ransel. Saya sudah punya rencana untuk mencatat FGD ini dalam mindjet saya. Dengan perangkat itu saya siap mengikuti FGD dan tinggal menunggu kesiapan mas Dessy untuk berangkat ke Bahari Inn. Sejujurnya saya sangat curious dengan Semedo. Kisah mengenai fosil-fosil itu begitu mengusik hati dan pikiran saya. Saya jadi menyesal mengapa dulu tidak ikut ke Semedo ketika diajak mas Dessy untuk melihat fosil gading Stegodon (?) yang tiba-tiba mencuat ke permukaan tebing. Saya terus bertanya dalam hati dimana persisnya letak Semedo, bagaimana kondisi daerahnya, dan apa yang sebenarnya terjadi di sana?
Informasi yang saya himpun dari berbagai sumber telah membuka wawasan saya mengenai Semedo, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar masalah itu yang terus saya pikirkan. Rupanya Semedo adalah sebuah desa yang terletak di wilayah kecamatan Kedungbanteng KabupatenTegal. Desa Semedo berbatasan dengan desa Sigentong di sebelah Utara, desa Sidamulya di sebelah Timur, hutan Semedo di sebelah Selatan, dan desa Karangmalangdi sebelah Barat. Fosil-fosil yang ditemukan berada di area terbuka hutan jati di perbukitan Semedo yang terhampar sepanjang lebih dari 2,5 kilometer.
Saya harus berterima kasih pada Yusuf Efendi, pamong budaya Kemendikbud Dirjen Kebudayaan di Kabupaten Tegal yang telah menulis beberapa hal mengenai Semedo di internet. Dari tulisan itu saya kini tahu bahwa kisah mengenai Semedo dimulai pada tahun 2005 ketika Dakri, Duman, Sunardi, dan Ansori menemukan tulang-tulang batu ketika mencari kayu bakar di bukit Semedo. Tulang-tulang itu kemudian dibawa pulang dan diletakkan di rumah mereka. Tulang yang ditemukan semakin hari semakin banyak hingga menarik perhatian berbagai pihak. Para peneliti dari museum Sangiran pada akhirnya mengetahui bahwa tulang-tulang itu adalah fosil binatang purba yang diperkirakan berasal dari periode kehidupan sekitar 1,5 juta tahun yang lalu. Jenis fosil binatang yang ada di Semedo mirip dengan yang ditemukan di situs Trinil, yaitu Stegodon, Elephas (gajah), Rhinoceros (badak), Sus (babi), Cervus (rusa), Hippopotamus (kuda nil), dan Bovidae berupa sapi, kerbau, atau banteng. Sejak penemuan fosil-fosil binatang purba itu tampillah Semedo ke atas panggung dunia kepurbakalaan dan mulai banyak dibicarakan.
Sensasi Semedo memuncak ketika pada Mei 2011, Dakri menemukan fosil manusia purba jenis Homo Erectus di aliran sungai Kawi. Fosil yang ditemukan adalah atap tengkorak manusia yang kemudian diberi nama Semedo 1. Komponen itu mempuyai ukuran dan morfologi yang sama dengan yang ditemukan di Sangiran sehingga diperkirakan hidup di periode yg sama, yaitu Kala Pleistosen Tengah, atau kira-kira 700 ribu tahun yang lalu.
Kompas.com menulis bahwa fosil manusia di Semedo ini adalah yang pertama kali ditemukan di belahan Barat-Utara Jawa Tengah. Selama ini temuan manusia purba Homo Erectus hanya ditemukan di Jawa Tengah bagian Timur (Sangiran, Ngandong, dan Sambungmacan) dan Jawa Timur (Trinil dan Mojokerto). Dengan ditemukannya fosil manusia purba di Semedo, Harry Widianto, Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman Kemendikbud, menyimpulkan bahwa Homo Erectus telah menjangkau daerah Barat di jajaran pegunungan Serayu Utara. Jauh dan terpisah dari saudara-saudaranya yang selama ini menguasai habitat di Cekungan Solo, Pegunungan Kendeng, dan daerah aluvial Bengawan Solo. Nilai situs Semedo pun kini tidak bisa dianggap remeh karena telah memberikan kontribusi yang penting bagi sejarah evolusi manusia, budaya, dan lingkungannya sejak 1,5 juta tahun lalu.
Dari berbagai informasi yang saya peroleh, informasi yang mengaitkan penemuan fosil Semedo dengan teori evolusi ternyata lebih menarik perhatian saya dibandingkan dengan yang lain. Evolusi? Pikiran saya menerawang jauh. Sejak saya membaca tulisan Lee Strobel dan Harun Yahya (serta menonton serial tv Ancient Aliens), saya menjadi seorang Creationist yang memandang teori evolusi sebagai sesat pikir. Kerumitan protein dan sel yang tidak mungkin terbentuk secara kebetulan, tidak adanya fosil makhluk hidup bentuk peralihan, munculnya beragam makhluk hidup sempurna secara tiba-tiba di lapisan kambrium, kemunculan mamalia yang spontan tanpa pendahulu, penemuan ikan Coelacanth yang sudah dianggap punah 70 juta tahun silam, dan beberapa binatang masa kini yang tidak mengalami perubahan bentuk sama sekali dibandingkan dengan binatang yang sama jutaan tahun yang lalu adalah beberapa bukti bahwa evolusi sebenarnya tidak pernah terjadi.
Siapa bilang gajah Sumatra atau gajah Asia yang sekarang ini adalah hasil evolusi dari Stegodon atau Elephas? Mastodon, Stegodon, Elephas dan gajah Sumatra adalah spesies-spesies gajah yang berbeda. Yang satu bukan hasil evolusi yang lain. Tidak perlu tersesat dalam alur pikir evolutif yang rumit tapi sebenarnya tidak pernah didukung oleh bukti-bukti ilmiah yang kuat. Kita hanya perlu secara sederhana memahami bahwa tiga jenis gajah yang pertama adalah gajah yang telah punah, sedangkan yang terakhir adalah gajah yang masih ada saat ini. Sebuah pemikiran sederhana yang justru benar, karena kebenaran seringkali memang sesederhana itu.
Siapa bilang juga Homo Sapiens diturunkan dariHomo Erectus melalui proses evolusi? Urutan evolusi manusia yang sering digambarkan sedang berjalan berurutan dari Australopithecus, Homo Erectus hingga Homo Sapiens sepenuhnya imajiner. Yang satu bukanlah hasil evolusi yang lain. Perbedaan antara Homo Erectus dan Homo Sapien semata-mata adalah masalah ras. Mereka adalah manusia yang berbeda ras, dan hidup pada periode yang tidak jauh berbeda, bahkan pernah hidup berdampingan. Homo Erectus adalah ras manusia yang telah punah, sedangkan Homo Sapiens adalah ras manusia yang tetap bertahan hingga saat ini. Mengenai Australopithecus yang sering digambarkan sebagai nenek moyang Homo Erectus, mereka sepenuhnya adalah jenis kera dan bukan nenek moyang manusia. Oleh karena itu gambar urutan evolusi manusia yang berbaris dari (yang primitif mirip) kera hingga manusia modern adalah sebuah kepalsuan evolusionisme.
Hal lain yang saya anggap berlebihan adalah rekonstruksi Homo Erectus yang pernah saya lihat di sebuah museum. Patung manusia gempal berbulu dengan wajah seperti monyet ini tampak ramah tersenyum kepada pengunjung museum. Saya tidak habis pikir bagaimana mungkin dengan modal hanya serpihan fosil tengkorak yang sangat minim, seorang seniman (atau ilmuwan?) berani merekonstruksinya menjadi manusia purba, lengkap dengan rambut, kulit, mata, hidung, dan bibir yang tersenyum ala monyet? Dan organ seksnya, kenapa bisa sepanjang itu? Darimana mereka tahu? Fosil jelas-jelas tidak memberikan informasi mengenai hal-hal yang ada dalam tubuh rekonstruksi itu. Sisa-sisa tulang tidak dapat mengungkapkan jaringan lunak makhluk hidup yang telah mati. Dengan demikian rekonstruksi sepenuhnya adalah khayalan. Yang lebih khayal lagi, patung manusia purba seperti itu konon dijual 800 juta rupiah per unitnya. Benar-benar sebuah kebohongan yang mahal.
Saya menceritakan keyakinan anti evolusi saya itu kepada mas Dessy dalam perjalanan kami menuju ke hotel Bahari Inn. Mas Dessy yang menyetir mobil juga menceritakan banyak hal mengenai Semedo, termasuk harapan-harapannya terhadap pengembangan situs di masa depan. Tanpa terasa percakapan seru di sepanjang perjaanan telah membawa kami masuk ke area parkir hotel Bahari Inn. Perjalanan terasa begitu cepat. Saya dan mas Dessy langsung masuk keruangan tempat diadakannya FGD, dan tak lama kemudian acara pun dimulai.
Dalam FGD ini dibahas mengenai tahap-tahap pengembangan situs Semedo, yaitu pembuatan master plan, pembuatan Detail Engineering Design (DED), dan pembuatan museum. Master plan situs Semedo akan mencakup beberapa zona. Pertama, zona inti. Zona ini mencakup zona temuan-temuan purba kala sehingga akan menjadi zona yang sangat dilindungi dan harus disterilkan dari masalah-masalah kependudukan. Kedua, zona penyangga. Zona ini berfungsi untuk melindungi zona inti. Kantor pengelola dan museum akan berada di sini. Ketiga, zona pengembang. Zona ini berfungsi sebagai sarana pengembangan pariwisata dan pemberdayaan masyarakat yang berada di sekitar situs. Keempat, zona penunjang yang diperuntukkan bagi tempat rekreasi.
Untuk pembuatan museum, Harry Widianto mengatakan bahwadi Semedo akan dibangun museum dengan anggaran sekitar 25 milyar rupiah. Sebuah museum modern yang bisa bercerita mengenai semua kisah yang terkandung dalam fosil-fosil yang ditemukan di Semedo. Tanpa museum yang bisa bercerita, maka Semedo dan fosil-fosilnya tidak akan banyak berarti bagi masyarakat. Selain sebagai sarana bercerita, museum ini nantinya juga akan difungsikan sebagai tempat penelitian kepurbakalaan Semedo.
Menyimak FGD ini saya benar-benar larut. Saya tentu saja senang jika pada tahun 2015 nanti di Semedo sudah berdiri sebuah museum modern seperti yang ada di Sangiran. Saya tidak bisa memberikan pendapat di Semedo sebelah mana museum itu seharusnya didirikan karena saya sama sekali belum pernah ke sana. Bagi saya museum itu, bagaimanapun juga, harus tetap berada di Semedo, dan tidak semestinya berada di tempat lain di Kabupaten Tegal. Harapan saya museum itu nantinya akan benar-benar mampu menjadi pencerita yang baik bagi kehidupan purbakala di Semedo, dan bukan menjadi pewarta propaganda evolusionisme. Biarkan museum menjadi tempat bercerita yang alami mengenai kehidupan di masa lalu tanpa perlu diberi muatan ideologi kontroversial yang akan membingungkan dan menyesatkan masyarakat.
Fosil-fosil Semedo sama sekali tidak sedang bercerita mengenai evolusi makhluk hidup. Tidak! Mereka sedang bercerita mengenai kehidupan di masa lalu yang jauh, di sebuah dunia penuh misteri yang telah diciptakan oleh Sang Pencipta. Cerita mereka adalah kisah mengenai kerapuhan hidup di dunia fana yang pada akhirnya hanya menyisakan serpihan-serpihan tulang batu. Fosil-fosil Semedo adalah pesan sunyi yang dikirim dari masa lalu untuk kita, supaya kita belajar tentang kehidupan, karena sejatinya takdir kita tidaklah jauh berbeda dari mereka. Kita adalah fosil-fosil berikutnya.
***
Tulisan ini saya persembahkan untuk mas Dessy Arifianto, kabid Pemkesos Bappeda Kabupaten Tegal, yang telah meginspirasi saya untuk membuat tulisan ini. Kepedulian mas Dessy pada pengembangan situs Semedo pantas mendapatkan apresiasi.
oleh: Trianto Budiatmoko
Untuk foto-foto tentang Semedo bisa dilihat di Wisata Tegal.
Pesan Sunyi Fosil Semedo http://t.co/UUL74yTEeZ | #infoTegal
#tegal Pesan Sunyi Fosil Semedo http://t.co/Z8MGmj7ZJ3 #portalTGL